contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Thursday 8 April 2010

CSR ITU MEMBANGUN PRODUKTIFITAS BUKAN MENJADI BEBAN
Disampaikan pada seminar Nasional Nasional : Efektifitas Program CSR Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Oleh : Gilang Mahesa – Community Development Departement Head

Sebuah Pengantar
Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya.

Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentral dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses.
Untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat agar lebih berdaya, berpartisipasi aktif, serta penuh dengan kreativitas, pemerintah melontarkan komitmen yang berlevel internasional. Komitmen ini telah ditandatangani dalam KTT Millenium PBB pada tahun 2002 bersama 189 negara lainnya. Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.
Dalam deklarasinya negara peserta menerapkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8 (delapan) tujuan (goal) yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau memberantas kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000).
Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015.
Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP (2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110 (UNDP, 2007).
Oleh karena itu sebagai bagian dari proses peran serta dalam melakukan pemberdayaan masyarakat untuk menaikkan nilai IPM Indonesia, Pemerintah Indonesia menetapkan dalam UU Perseroan Terbatas porsi peran aktif masyarakat pelaku ekonomi dengan sebuah kegiatan yg sering kita sebut CSR ( Corporate Social Responsibility )

BAGAIMANA PERUSAHAAN MEMANDANG CSR

Isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang sering disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) dewasa ini menjadi topik yang banyak dibicarakan terlebih dengan dicantumkannya CSR dalam UU Perseroan Terbatas.

Organisasi bisnis berlomba-lomba mengadakan berbagai program sosial berupa bakti sosial, pemberian bea siswa, melakukan penghijauan dan lain sebagainya yang kemudian digaungkan sebagai program CSR. Masyarakat mulai memaknai program-program semacam itu sebagai CSR bahkan pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh organisasi bisnis yang bergerak dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA pada akhirnya dikatakan sebagai CSR.

Pemaknaan CSR sebagaimana diterima dan dipraktekkan selama ini sebenarnya merupakan penyempitan dari makna yang sebenarnya. Setiap organisasi semestinya berasumsi bahwa tanggung jawab sosialnya adalah kepada semua pihak yang berhubungan dengannya baik karyawan, pelanggan, lingkungan dan lainnya (stakeholders). Pemaknaan kata sosial hanya sebatas pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya bak mengebiri dan mengurangi filosofi dasar dari CSR itu sendiri.

Andaikata sebuah organisasi yang bergerak dalam industry makanan memberikan bantuan air bersih bagi masyarakat bisa mempromosikan diri telah melaksanakan CSR sementara di lain sisi organisasi tersebut memproduksi makanan dengan bahan pewarna yang berlebihan. Tentunya CSR tidak lebih dari sekedar program amal (charity) yang dipublikasi bila dimaknai demikian.

Perlu dibedakan bahwa kontribusi atau kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar tidak seketika layak di-klaim sebagai CSR. Adalah sebuah kewajaran dan kewajiban bagi organisasi yang memanfaatkan SDA untuk menjaga kelestariannya, adalah kewajaran pula apabila organisasi bisnis memberikan sumbangan atau bantuan kepada masyarakat karena dirinya berada dalam komunitas itu sendiri. Tidak salah mengatur kewajiban organisasi bisnis untuk menjaga kelestarian alam setelah memanfaatkannya dalam program usaha, namun kurang tepat apabila tindakan tersebut dikategorikan sebagai CSR. Tanggung jawab organisasi terhadap komunitas sesungguhnya jauh lebih besar daripada apa yang selama ini dipraktekkan dengan melakukan program-program amal. Bukankah organisasi bisnis semestinya turut menjaga moralitas masyarakat dengan tidak beriklan pada program televisi yang merusak moral dan mental bangsa. Harus diakui bahwa organisasi bisnis memiliki andil berperan menggerogoti moral dengan mendukung program yang tidak layak tayang. Penyempitan makna CSR adalah satu masalah, masalah lain adalah pelaksanaan yang sering kali tidak sesuai dengan kompetensi organisasi.

Organisasi sendiri dimanapun selalu dilandaskan pada tujuan tertentu yang telah ditetapkan (spesialisasi). Inilah yang mengikat organisasi sehingga ketika organisasi berjalan tanpa tujuan dan individu yang ada di dalamnya bekerja sendiri-sendiri tanpa ada tujuan yang sama dan terfokus maka yang ada hanyalah kelompok individu bukan organisasi (bedakan antara keduanya). Kegiatan dalam mencapai tujuan tersebut pada akhirnya akan melahirkan kompetensi dari organisasi pada bidangnya ini yang menjadi pembeda antar organisasi.

Terkait dengan tujuan dan kompetensi yang dimiliki organisasi, program CSR hendaknya juga dilakukan sesuai dengan tujuan dan kompetensi yang dimiliki oleh organisasi. Sebagaimana dikatakan oleh Drucker: “Maksud baik belum tentu bertanggung jawab secara sosial. Bagi organisasi adalah suatu tindakan tidak bertanggung jawab jika menerima tanggung jawab yang tidak sesuai kompetensinya”, karenanya penting bagi organisasi untuk memilih program CSR yang sesuai dengan kompetensinya (sesuai bidangnya). Contoh yang terjadi selama ini organisasi bisnis yang bergerak dalam industri rokok melakukan program pemberian bantuan pembangunan sekolah, di tempat lain organisasi yang bergerak dalam industri perakitan melakukan program penanaman sejuta pohon dan keduanya berkampanye bahwa program tersebut adalah perwujudan CSR. Padahal program tersebut lebih tepat dikatakan sebagai charity dan tidak sesuai dengan kompetensinya. Akan lebih tepat seandainya sebuah organisasi dalam industri mobil memberikan pelatihan bagi siswa STM mengenai mesin, sementara yang bergerak dalam industri garmen memberikan pelatihan menjahit. Tentunya program semacam ini lebih bertanggung jawab daripada melakukan program yang tidak sejalan dengan kompetensi yang dimilikinya. Analoginya sungguh tidak bertanggung jawab apabila seorang mekanik menjalankan tugas seorang dokter dengan alasan peduli sesama demikian pula sebaliknya.
Program CSR yang tidak sesuai kompetensi organisasi bisa saja disiasati dengan alih daya pada pihak ketiga namun hal ini sekali lagi tak lebih dari sekedar sumbangan berupa dana bukan tanggung jawab sosial yang dikategorikan sebagai CSR.

Dengan demikian secara garis besar cara pandang sebuah perusahaan terhadap CSR dapat dilihat dalam 3 kategori :

1. Sebagai Beban
2. Sebagai Charity Publisitas
3. Sebagai Investasi

BAGAIMANA DENGAN RUMAH ZAKAT ?

Rumah Zakat Indonesia sebagai salah satu NGO Nasional yang ter-akreditasi sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional selama ini mendapatkan kepercayaan dari beberapa perusahaan baik internasional, nasional maupun regional untuk menyalurkan dana – dana yang diakui oleh perusahaan tersebut sebagai dana CSR.

Dalam memandang CSR, Rumah Zakat Indonesia berpedoman kepada 6 hal dasar yaitu :

1. Amanah
2. Profesional
3. Kemudahan
4. Sinergis
5. Ketepatan Penyaluran, dan
6. Kejelasan Laporan

Dengan semangat 6 hal tersebut, RZI memandang CSR sebagai salah satu solusi untuk sebuah pemberdayaan masyarakat. Oleh karena Rumah Zakat Indonesia menawarkan sebuah konsep Pemberdayaan Komunitas untuk memaksimalkan pengelolaan dana CSR.

Mengapa Pemberdayaan Komunitas ? Dengan Pemberdayaan Berbasis Komunitas, sekurangnya ada 5 hal yang akan mengarahkan pengelolaan dana CSR sesuai dengan niatan keberdayaan, yaitu :

1. Tepat Sasaran, penerima manfaat berada dalam sebuah wilayah binaan / komunitas yang jelas ( tidak fiktif ), terukur dengan ukuran yg tepat, dapat di check secara on the spot atau online dan yang terpenting dapat dilakukan kegiatan pendampingan. Selain itu program yg kita gulirkan benar – benar program yg dibutuhkan oleh masyarakat penerima manfaat.
2. Pendampingan, dengan terkumpulnya penerima manfaat secara wilayah binaan atau komunitas, maka setiap penerima manfaat akan dapat di supervise, dilakukan monitoring, controlling, advokasi dan conselling sehingga rekan jejak keberdayaan dari setiap penerima manfaat dapat diukur dan dilihat setiap waktunya.
3. Memiliki Paremeter Ukur, inilah yg membedakan antara program charity dengan produktif. Pemberdayaan Berbasis Komunitas mempunyai parameter ukuran dan target KPI ( key performance indicator ) yang dapat dinilai secara terbuka dan tranparan. Dengan parameter ukur itulah dapat dilihat impact yg dihasilkan dari sebuah program CSR.
4. Membangun Keberdayaan, dengan parameter ukur, kita dapat menentukan titik balik sebuah keberdayaan. Bagi kami di RZI titik metamorfosisnya itu adalah Transformasi Mustahiq menjadi Muzzaki dengan ukuran nisab zakat. Di RZI kami membangun apa yang dinamakan sebagai evolusi kemiskinan yaitu sebuah evolusi dari miskin menjadi produktif, berdaya dan sejahtera.
5. Kejelasan Laporan, dengan tepatnya sasaran penerima manfaat, adanya pendampingan, parameter ukur dan keberdayaan maka laporan yg dibuat akan sangat jelas memenuhi standar laporan CSR yg di gariskan oleh GRI ( Global Reporting International ). Hal ini secara langsung ataupun tidak langsung akan menguntungkan RZI sebagai pelaksana program dan Perusahaan sebagai pemilik dana CSR dalam proses pencitraan lembaga.

SKEMA PEMBERDAYAAN DI RZI

1. Clustering Penerima Manfaat

2. Alur Intervensi

3. Jenis Intervensi

4. Skema Wilayah Binaan

5. Skema Pendampingan

6. Goals

PENUTUP
Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004).
Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian.

Bagi kami di Rumah Zakat Indonesia, pemberdayaan adalah sebuah gerakan social bagi pembangunan peradaban yang jauh lebih baik. Kami tidak dapat menjadikan seluruh dunia menjadi lebih baik, tapi kami dapat membuat seluruh dunia melihat bahwa kami melakukan sebuah kebaikan untuk membangun peradaban menjadi lebih baik dengan sebuah pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas. Insya Allah

Gilang Mahesa
Comdev Departement Head
Rumah Zakat Indonesia

1. Satrio. A Wicaksono – dari berbagai sumber tulisan
2. Rangkuman dari berbagai sumber tulisan
3. Bussines Plann Comdev Departement RZI 2008

0

0 comments:

Post a Comment

Links

Followers