contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Saturday 10 April 2010

Islamic worldview
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam memiliki worldview (pandangan alam/pandangan hidup) yang berbeda dengan pandangan hidup agama/peradaban lainnya. Al-Attas menjelaskan sejumlah karakteristik pandangan hidup Islam, antara lain: (1) berdasarkan kepada wahyu; (2) tidak semata-mata merupakan pikiran manusia mengenai alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya; (3) tidak bersumber dari spekulasi filosofis yang dirumuskan berdasarkan pengamatan dan pengalaman inderawi; (4) mencakup pandangan tentang dunia dan akhirat.
Jadi, menurut al-Attas, pandangan hidup Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth), atau pandangan Islam mengenai eksistensi (ru’yat al-Islam lil wujud). Al-Attas menegaskan, bahwa pandangan hidup Islam bersifat final dan telah dewasa sejak lahir. Islam tidak memerlukan proses ’pertumbuhan’ menuju kedewasaan mengikuti proses perkembangan sejarah. Jadi, karakteristik pandangan hidup Islam adalah sifatnya yang final dan otentik sejak awal. Ini sangat berbeda dengan sifat agama-agama lainnya maupun kebudayaan/peradaban umat manusia yang berkembang mengikuti dinamika sejarah.
Pandangan hidup Islam terbentuk dari serangkaian pemahaman tentang konsep-konsep pokok dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep kenabian, konsep agama, konsep wahyu, konsep manusia, konsep alam, dan konsep ilmu. Seluruh elemen itu terkait satu dengan lainnya, dan konsep Tuhan menjadi landasan bagi konsep-konsep lainnya.
Adian Husaini, MA
(Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia/Dosen Pasca Sarjana PSTTI-Universitas Indonesia)

Download artikel lengkapnya di sini ==>islamicworldview.doc

0
Friday 9 April 2010

0

ins
Pekan depan Pameran Kegemilangan Sains dalam Tamadun Islam yang digelar di ibukota negara jiran Kuala Lumpur akan berakhir. Seperti diberitakan harian ini (10/01/07), pameran yang diselenggarakan oleh Kementerian Sains, Teknologi, dan Inovasi bekerjasama dengan Institute for the History of Arabic-Islamic Science Johann Wolfgang Goethe University Frankfurt itu bertujuan membangkitkan kembali semangat dan kesadaran generasi muda akan pentingnya mempelajari dan menguasai sains dan teknologi. Lebih dari seratus artifak dan manuskrip dalam pelbagai bidang (kedokteran, astronomi, kartografi, teknik dan arsitektur) yang ditampilkan cukup membuat pengunjung berdecak kagum sekaligus bertanya-tanya: Bagaimana umat Islam berhasil mencapai kejayaan itu dan –yang lebih mengherankan lagi- mengapa semua itu kemudian lenyap?

     


Kemajuan Sains dalam Sejarah Islam

Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi Islam itu sendiri. Dalam tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw (632 M), kaum Muslim telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang diistilahkan ‘pembukaan negeri-negeri’ (futuh al-buldan) itu berlangsung pesat tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil ditaklukkan. Maka tak sampai satu abad, pada 750 M, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan Alexander the Great di Asia (Kaukasus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Marokko), mencakup Mesopotamia (Iraq), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, plus semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) dan India.
Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau kepercayaan lokal kedalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban setempat. Proses interaksi yang berlangsung alami namun intensif ini tidak lain dan tidak bukan adalah gerakan “islamisasi” (ada juga yang lebih suka menyebutnya sebagai naturalisasi, integralisasi, atau assimilasi), dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih dan disaring dulu sebelum kemudian diserap. Hal-hal yang positif dan sejalan dengan Islam dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan, sementara elemen-elemen yang tidak sesuai dengan kerangka dasar ajaran Islam ditolak dan dibuang.
Dalam proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong untuk mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya. Ini dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan. Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad. Khalifah al-Ma’mūn (w. 833 M) mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Menjelang akhir abad ke-9 Masehi, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan alchemy. Muncullah orang-orang seperti Abu Bakr al-Razi (Rhazes), Jabir ibn Hayyan (Geber), al-Khawarizmi (Algorithm), Ibn Sina (Avicenna) dan masih banyak sederetan nama besar lainnya.
Kegemilangan itu berlangsung sekitar lima abad lamanya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battani (w. 929) mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kritik terhadap teori-teori Ptolemy juga telah dilontarkan oleh Ibn Rusyd (w. 1198) dan al-Bitruji (w. 1190). Dalam bidang fisika, Ibn Bajjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia (Spanyol), Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat Roger Bacon (w. 1292) dan belakangan dipopulerkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519).

Faktor Pemicu Kejayaan Sains
Melihat prestasi gemilang itu, wajarlah jika kemudian muncul pertanyaan bagaimana semua itu dapat terjadi? Jika dikaji dan ditelusuri dengan teliti, faktor-faktor yang telah memungkinkan dan mendorong kemajuan sains di dunia Islam pada saat itu ada lima. Pertama, berkat kesungguhan dalam mengimani mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah itu lahirlah individu-individu unggul yang pada gilirannya membentuk masyarakat madani Islami. Kedua, adanya motivasi agama. Seperti kita ketahui, kitab suci al-Qur’an banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, membaca (iqra’), melakukan observasi, esplorasi, ekspedisi (siru fil ardhi), dan berfikir ilmiah rasional.
Al-Qur’an juga mengecam keras sikap dogmatis atau taklid buta. Begitu gencarnya ayat-ayat itu didengungkan, sehingga belajar atau mencari ilmu pengetahuan diyakini sebagai kewajiban atas setiap individu Muslim, dengan implikasi berdosalah mereka yang tidak melakukannya. Pada dataran praktis, doktrin ini membawa dampak sangat positif. Ia mendorong dan mempercepat terciptanya masyarakat ilmu (knowledge society) dan budaya ilmu (knowledge culture), dua pilar utama setiap peradaban.
Ketiga adalah faktor sosial politik. Tumbuh dan berkembangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara lain ―jika bukan terutama― oleh kondisi masyarakat Islam yang, meskipun terdiri dari bermacam-macam etnis (Arab, Parsi, Koptik, Berber, Turki, dan lain lain), dengan latarbelakang bahasa dan budaya masing-masing, namun berhasil diikat oleh tali persaudaraan Islam. Dengan demikian terwujudlah stabilitas, keamanan dan persatuan. Para pencari ilmu maupun cendekiawan dengan leluasa dan aman bepergian ke pusat-pusat pendidikan dan keilmuan, dari Seville ke Baghdad, dari Samarkand ke Madinah, dari Isfahan ke Kairo, atau dari Yaman ke Damaskus. Ini belum termasuk mereka yang menjelajahi seluruh pelosok dunia Islam semisal Ibn Jubayr (w. 1217) dan Ibn Batūtah (w. 1377).
Ketiga adalah faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat masa itu membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mengembangkan diri dan mencapai apa yang diinginkannya. Imam ad-Dhahabī (w. 1348), misalnya, menuntut ilmu hingga usia 20 tahun dengan biaya orangtuanya. Namun umumnya, pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu. Di universitas dan sekolah-sekolah tinggi seperti Nizamiyyah, Aziziyyah, Mustansiriyyah dan sebagainya, baik staf pengajar maupun pelajar dijamin kehidupannya oleh badan wakaf masing-masing, sehingga bisa konsentrasi penuh pada bidang dan karirnya serta produktif menghasilkan karya-karya ilmiah. Dengan kemakmuran jugalah kaum Muslim dahulu dapat membangun istana-istana yang megah, perpustakaan-perpustakaan besar dan sejumlah rumah sakit.    
Faktor keempat yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dan perlindungan penguasa saat itu. Para saintis semisal Ibn Sina, Ibn Tufayl dan at-Tusi berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti patron-nya. Mereka menjadi penasehat sultan, dokter istana, atau sekaligus pejabat (Ibn Sina diangkat sebagai menteri oleh penguasa Hamadan waktu itu). Pentingnya patronase ini dibenarkan oleh sejarawan Toby Huff (1993): The considerable freedom and resources that certain outstanding philosophers and mathematicians had to pursue their studies, however, was always contingent upon the official protection of local rulers. 
  

Kemunduran Sains di Dunia Islam

Lantas mengapa perjalanan sains di dunia Islam seolah-olah mendadak berhenti, mengapa cahaya kegemilangan itu kemudian redup lalu seolah lenyap sama sekali? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sesederhana melontarkannya. Secara umum, faktor-faktor penyebab kematian sains di dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal.
Menurut Profesor Sabra (Harvard) dan David King (Frankfurt), kemunduran itu dikarenakan pada masa terkemudian kegiatan saintifik lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis agama. Arithmetika dipelajari karena penting untuk menghitung pembagian harta warisan. Astronomi dan geometri (atau lebih tepatnya trigonometri) diajarkan terutama untuk membantu para muwaqqit menentukan arah kiblat dan menetapkan jadwal shalat. Penjelasan semacam ini tidak terlalu tepat, sebab asas manfaat ini acapkali justru berperan sebaliknya, menjadi faktor pemicu perkembangan dan kemajuan sains.
Jawaban lain menyatakan bahwa oposisi kaum konservatif, krisis ekonomi dan politik, serta keterasingan dan keterpinggiran sebagai tiga faktor utama penyebab kematian sains di dunia Islam. Ini pendapat David Lindberg (1992). Menurutnya, sains dan saintis pada masa itu seringkali ditentang dan disudutkan. Ia menunjuk kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat yang terjadi antara lain di Cordoba. Tak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi dan kekacauan politik amat berpengaruh terhadap perkembangan sains. Konflik berkepanjangan disertai perang saudara telah mengakibatkan disintegrasi, krisis militer dan hancurnya ekonomi. Padahal, kata Lindberg, a flourishing scientific enterprise requires peace, prosperity, and patronage. Tiga pilar ini mulai absen di dunia Islam menjelang abad ke-13 Masehi. Semua ini diperparah dengan datangnya serangan tentara Salib, pembantaian riconquista di Spanyol, dan invasi Mongol yang meluluh-lantakkan Baghdad pada 1258. Tidak sedikit perpustakaan dan berbagai fasilitas riset dan pendidikan porak-poranda. Ekonomi pun lumpuh dan, sebagai akibatnya, sains berjalan tertatih-tatih. 
Faktor ketiga yang ditunjuk Lindberg biasa disebut ‘marginality thesis’. Sains di dunia Islam tidak bisa maju karena konon selalu dipinggirkan atau dianak-tirikan. Akibatnya, sains tidak pernah secara resmi diakui sebagai salah satu mata pelajaran atau bidang studi tersendiri. Pengajaran sains hanya bisa dilakukan dengan cara ‘nebeng’ atau diselipkan bersama subjek lainnya. Seberapa jauh kebenaran tesis ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Pada level yang lebih tinggi, hal ini berimplikasi pada riset dan pengembangan. Konon para saintis saat itu banyak yang bekerja sendiri-sendiri, di laboratorium milik pribadi, meskipun disponsori dan dilindungi oleh patronnya. Namun demikian tidak ada lembaga khusus yang menampung mereka. Kesimpulan semacam ini agak problematik. Pertama, karena mencerminkan generalisasi yang tergesa-gesa dan, kedua, karena institutionalisasi tidak selalu berdampak positif tetapi bisa juga berakibat sebaliknya.    
Selain itu, beberapa faktor internal seperti kelemahan metodologi, kurangnya matematisasi, langkanya imajinasi teoritis, dan jarangnya eksperimentasi, juga dianggap sebagai penyebab stagnasi sains di dunia Islam. Pendapat ini disanggah oleh Toby Huff. Menurutnya, mengapa di dunia Islam yang terjadi justru kejumudan dan bukan revolusi sains lebih disebabkan oleh masalah sosial budaya ketimbang oleh hal-hal tersebut diatas. Buktinya, Copernicus pun didapati menggunakan model dan instrumen yang didesain oleh at-Tusi. Tradisi saintifik Islam, tegas Huff, juga terbukti cukup kaya dengan pelbagai teknik eksperimen dalam bidang astronomi, optik maupun kedokteran. Oleh karena itu Huff lebih cenderung menyalahkan iklim sosial-kultural-politik saat itu yang dianggapnya gagal menumbuhkan semangat universalisme dan otonomi kelembagaan di satu sisi, dan membiarkan partikularisme serta elitisme tumbuh berkembang-biak. Di sisi lain, Huff menilai tidak terdapatnya skeptisisme yang terorganisir dan dedikasi murni turut mempengaruhi perkembangan sains di dunia Islam. 
Ada juga klaim yang menghubungkan kemunduran sains dengan sufisme. Memang benar, seiring dengan kemajuan peradaban Islam saat itu, muncul berbagai gerakan moral spiritual yang dipelopori oleh kaum sufi. Intinya adalah penyucian jiwa dan pembinaan diri secara lebih intensif dan terencana. Pada perkembangannya, gerakan-gerakan tersebut kemudian mengkristal jadi tarekat-tarekat dengan pengikut yang kebanyakannya orang awam. Popularisasi tasawuf inilah yang bertanggung-jawab melahirkan sufi-sufi palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan sikap irrasional dikalangan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspek-aspek mistik supernatural seperti keramat, kesaktian, dan sebagainya ketimbang pada aspek ritual dan moralnya. Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan kegandrungan pada hal-hal tersebut pada gilirannya menyuburkan berbagai bentuk bid’ah, takhayyul dan khurafat. Akibatnya yang berkembang bukan sains, tetapi ilmu sihir, pedukunan dan aneka pseudo-sains seperti astrologi, primbon, dan perjimatan. Jadi lebih tepat jika dikatakan bahwa kemunduran sains disebabkan oleh praktek-praktek semacam ini, dan bukan oleh ajaran tasawuf.       
                    

Penutup


Memasuki era modern, sikap kaum Muslim terhadap sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tempatnya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemajuan ataupun kemunduran sains dipengaruhi oleh dan tergantung pada banyak faktor internal maupun eksternal. Sebagai sebuah aktivitas kongkret, scientific enterprise mencerminkan nilai-nilai (epistemologis) yang dianut dan diamalkan para pelakunya. Kaum Muslim dapat meraih kembali kejayaannya jika mereka mau belajar dari sejarah agar tidak terjatuh ke jurang kegelapan berkali-kali.    

Written by Syamsuddin Arif

Thursday 8 April 2010

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum  memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi.
Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar” dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab.
Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis.
Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi  pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Dalam pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh sebab itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan. 
Oleh sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan seyogianya dibangun di atas Wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum yang ada perlu mencerminkan memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan hati. Pandangan hidup Islam perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang kehidupan.
Dalam Islam, Realitas dan Kebenaran bukanlah  semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran didasarkan kepada dunia yang nampak dan tidak nampak; mencakup dunia dan akhirat, yang aspek dunia harus dikaitkan dengan aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam).
Jadi, institusi pendidikan Islam perlu mengisoliir pandangan hidup sekular-liberal yang tersurat dan tersirat dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan modern saat ini, dan sekaligus memasukkan unsur-unsur Islam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Dengan perubahan-perubahan kurikulum, lingkungan belajar yang agamis, kemantapan visi, misi dan tujuan pendidikan dalam Islam, maka institusi-institusi pendidikan Islam akan membebaskan manusia dari kehidupan sekular menuju kehidupan yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Institusi–institusi pendidikan sepatutnya  melahirkan individu-individu yang baik, memiliki budi pekerti, nilai-nilai luhur dan mulia, yang dengan ikhlas menyadari tanggung-jawabnya terhadap Tuhannya, serta  memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada dirinya dan yang lain dalam masyarakatnya, dan berupaya terus-menerus untuk mengembangkan setiap aspek dari dirinya menuju kemajuan sebagai manusia yang beradab. 


Written by Adnin Armas

0

Pendahuluan

Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke  Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dimasa lalu dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.  Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. 
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi yang ditawarkan paham pluralisme agama lebh cenderung menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu: 1) Paham teologi global (global theology) dan  2) Paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions).
Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Tapi yang satu justru menyalahkan yang lain.

Aliran Global Theology
Bagi aliran pertama yang diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya  Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order,  oleh Ronald Robertson dan WR. Garet. Bagi aliran pertama agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Oleh sebab itu menurut Walters globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya. (lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995, hl 36). Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal. Maraknya seminar tentang global ethic, religious dialogue, inter-faith dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain merupakan bagian dari program globalisasi.  Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga yang bergerak dalam bidang ini pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal The Muslim World, rintisan tokoh missionaries Zwemmer volume  94 No.3, tahun 2004. Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Jika globalisasi bukan merupakan program sudah tentu framework Barat tidak akan dominan. Tapi kenyataannya standar universal yang harus diterima semua agama dan semua bangsa dan peradaban itu berasal dari kebudayaan Barat. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme / gender, liberalisme dan sekularisme adalah ideologi dan nilai-nilai asli Barat. Buktinya nilai moral dan etika yang berkaitan dengan masalah seks yang diterima semua agama, misalnya, tidak dijadikan nilai universal.
Program globalisasi yang memarginalkan agama adalah murni pengalaman Barat. Di Barat pergumulan pemikiran untuk menyeret agama agar akomodatif terhadap tuntutan sosial lebih dominan ketimbang upaya menciptakan masyarakat religius. Dalam sejarahnya Barat memang berhadapan dengan doktrin agama Kristen yang ekslusif, dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) dan diluar Kristen tidak ada kesalamatan. Tapi karena tuntutan social sangat kuat, maka doktrin itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang menyembah tuhan sebagai termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin inkusif inipun akhirnya bergeser lagi menjadi pluralisme. Paham pluralisme agama dalam merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut Protestan bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global theology). Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology). Keduanya membawa  paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh dunia.
Solusi yang ditawarkan aliran ini berdasarkan motif sosiologis dengan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology).
Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.

Aliran Transenden
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis. 
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis  dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis yang diterjemahkan kedalam bahasa Hindu menjadi Sanata Dharma atau kedalam bahasa Arab menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit). Aliran kedua ini mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Penggagas awalnya Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon.
Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Jadi Guenon, Schuon dan Nasr mendukung paham kesatuan transenden agama-agama. Pendekatan yang diambil aliran ini berasal dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Artinya mereka mengklaim bahwa para sufi itu pluralis
Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon  (m.1998),  Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.

Pluralisme Agama dan Ilmu Perbadingan Agama
Pluralisme agama juga memiliki kaitan erat dengan ilmu perbandingan agama. Pada mulanya masalah ekslusifisme suatu agama adalah wacana teologis, namun karena di Barat teologi berada di bawah filsafat, maka wacana pluralisme agama berada di tangan para filosof. Para filosof yang merasakan trauma hegemoni gereja dan otoritas mutlak para teolog, merasa perlu untuk melawan. Dan ini dilakukan mereka dengan cara mengetrapkan pemikiran yang bebas secara ekstrim. Dengan kebebasan itu mereka memarginalkan agama, mengangkat doktrin nihilisme nilai, mendobrak teologi dan bahkan “memasung” kekuasaan Tuhan.  Agama di Barat akhirnya menjadi obyek kajian para filosof yang tidak mempunyai otoritas itu. Rasionalisasi agama tidak berarti memahami agama secara rasional, tapi lebih merupakan upaya agar agama itu tunduk pada pemahaman rasio manusia. Jika suatu agama tidak sesuai dengan tuntutan social maka doktrin agama perlu dikorbankan. Pluralisme agama adalah upaya agar doktrin-doktrin agama itu tunduk pada kondisi social dan tuntutan akal manusia. Doktrin nihilisme misalnya merupakan upaya untuk menundukkan dan bahkan menghapus supremasi kebenaran agama.
Dari kondisi seperti ini maka “bola” diskursus agama berada ditangan para filosof, yang kebanyakan adalah aktifis atau mantan aktifis gerakan Protestan Liberal. Di Barat sudah bukan rahasia lagi bahwa teologi menjadi bulan-bulanan para filosof (theology was subservient to philosophy). Untuk sekedar menyebut beberapa nama,  Sartre, Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant dan lain-lain, adalah filosof-filosof yang bicara soal agama.  Para pakar sosiologi, psikologi, antropologi dll pun ikut-ikutan. Para sosiolog menggunakan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) untuk menjustifikasi adanya perubahan dalam agama. Herbert Spencer (1820-1904) juga mengikuti. Friedrich Max Muller (1794-1827), Emile Durkheim (1858-1917), Rudolf Otto (1869-1937) dan lain-lain mengaitkan agama dengan realitas sosial.
Dengan dihapuskannya supremasi agama maka teologi dianggap tidak relevan lagi. Para filosof akhirnya mencari “rumah baru” untuk memberi tempat bagi diskusi-diskusi mereka tentang agama.”Rumah Baru” itu adalah disiplin ilmu baru yang tidak disebut teologi, tapi philosophy of religion yang akarnya adalah comparative religion. Disini seakan-akan pembahasan agama bebas dari paham sesuatu agama. Dari diskursus tentang agama-agama inilah muncul teori dan paham pluralisme agama. Wacana pluralisme agama yang kini telah menjadi paham atau doktrin ini kemudian masuk dalam diskusi-diskusi tentang toleransi beragama, kerukunan umat beragama, inter-faith dialogue dan semacamnya. Bahkan pasca kejadian 11 september pluralisme agama nampak seperti diramu dengan doktrin liberalisme agar menjadi “pain-killer” bagi fenomena terorisme dan ekstrimisme.   
Harus diakui bahwa Filsafat Agama adalah suatu disiplin ilmu yang metode dan teorinya adalah filsafat Barat. Obyeknya adalah semua agama. Sudah tentu ketika filsafat membahas agama-agama itu, worldview Barat berada pada posisi bird-eye. Doktrin filsafat berada diatas doktrin agama-agama.
Bahkan dalam era globalisasi  disiplin ilmu ini kemudian di kembangkan menjadi Filsafat Agama Lintas Kultural (Cross-cultural philosophy of religion). Ini berarti bahwa obyek kajian filsafat agama diperluas dari sekedar agama yang ada dalam kultur Barat menjadi agama-agama dan kepercayaan yang berasal dari kultur lain.  Metode dan cara pandangnya tetap pemikiran filsafat, sosioligi dan antropologi Barat. Agama hanya dianggap sebagai produk dari kreatifitas manusia dan akan terus berubah sebagaimana makhluk hidup (living organism). Namanya pun dirubah menjadi sekedar penumpukan tradisi (cummulative tradition).
Namun, menurut Thomas Dean, dalam Religious Pluralism and Truth benih-benih disiplin ilmu filsafat agama telah ada sejak tahun 1950an, ia berbuah pada tahun 1960-an, membesar pada tahun 1970-an dan menjadi buah masak pada tahun 1980-an. Benihnya dimulai dari Ninian Smart, seorang filosof dan sejarawan Barat yang pada tahun 1958 menerbitkan karya filsafat agama yang berjudul Reason and Faith. Dalam buku ini ia  menghimbau agar filsafat dan sejarah agama baik di Barat maupun di Asia bekerjasama. Hal ini baginya sangat penting agar filsafat agama dapat berperan dalam kebudayaan yang pluralistis dan global pada akhir abad ke dua puluh. Menurut Dean, selama hampir dua puluh tahun buku ini belum tertandingi dan dianggap pioneer dalam bidangnya.
Periode pengembangan yang terjadi pada tahun 1960an ditandai oleh peluncuran buku Wilfred Cantwell Smith yang berjudul The Meaning and End of Religion. Buku dianggap telah membuka jalan bagi formulasi baru tentang problematika pemahaman agama lintas kultural.  Sebab disini, untuk pertama kalinya, ia menunjukkan sumbangan sejarah dan fenomenologi agama-agama terhadap filsafat agama lintas kultural. Buku ini menjadi penting karena selain mendukung pandangan bahwa kehidupan keagamaan manusia adalah sebuah dynamic historical continuum, juga menolak klaim kelompok transendentalis seperti Rene Guenon, F.Schuon, S.H.Nasr yang menganggap agama-agama didunia secara konseptual merupakan sistim tertutup.
Wacana ini kemudian mendapat sokongan dari para filosof dan ilmuwan di bidang agama. Pada tahun 1970an, yakni periode pembesaran, ditandai oleh penerbitan essay analitis yang ditulis William Christian yang berjudul Opposition of Religious Doctrines (1972) yang mendapat sambutan luas itu.  Ditambah lagi ketika karya “kroyokan” para filosof dan pakar sejarah agama yang berjudul Truth and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claim (1974) dan yang disunting John Hick terbit. Buah itu menjadi semakin besar ketika Raimundo Panikkar menerbitkan bukunya, The Intrareligious Dialogue (1978) dan Hick sendiri menulis buku Philosophy of Religion. Sebagai titik kulminasi dari wacana ini adalah terbitnya karya Wilfred Smith yang berjudul Towards World Teology, dan karya John Hick berjudul Problems of Religious Pluralism (1985) dan Interpretation of Religion (Gifford Lecture, 1986-87). Didalam karyanya inilah Hick mendeklarasikan perlunya teologi global. Jadi “buah masak” dari disiplin filsafat agama adalah pluralisme agama.  Goal getter nya  adalah Smith dan Hick.
Dari paparan diatas semakin jelas bahwa hubungan antara doktrin pluralisme agama dengan pemikiran filosof dan saintis sangat erat. Smith yang mangadopsi teori Newtonian Revolution menganggap agama-agama itu sebagai planet-planet yang memiliki hukum gravitasi dan pergerakan yang sama. Jika hukum-hukum alam ini tidak hanya berlaku pada planet bumi saja maka hukum-hukum agama itu tidak hanya berlaku pada satu agama saja, tapi  juga berlaku untuk semua agama. Sementara itu global teologi John Hick mengadopsi teori Copernican Revolution. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness), dalam bahasa lain Hick memindahkan keberagamaan dari individu kepada Realitas Mutlak (self-centredness to Reality centredness). Konon gagasan pluralisme agama yang dicari akarnya dari ide pluralitas alam itu mula-mula diangkat oleh John Donne, seorang sastrawan Inggeris abad ke 16 (John Donne,  dikutip dari Steven J. Dick, Plurality of Worlds (1982), hal. 49.). Ide ini kemudian berkembang menjadi pemikiran yang pluralistis pada abad-abad berikutnya di Eropah. Akan tetapi kini orang menganggap Smith dan Hick sebagai pioneer doktrin ini.

Kesimpulan
Karena plurlasme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam respon yang timbul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung menjustifikasi. Respon yang tidak kritis ini akhirnya justru meleburkan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran modernisasi dan globalisasi. Para pendukung paham pluralisme ini sangat getol berupaya memaknai kembali konsep Ahlul KitÉb dengan mengesampingkan penafsian para ulama yang otoritatif. Dalam memaknai konsep itu  proses dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern dianggap sah-sah saja. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia menyarankan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-KitÉb itu didekonstruksi agar lebih kontekstual.
Paham pluralisme agama ini ternyata bukan hanya sebuah wacana yang sifatnya teoritis, tapi telah merupakan gerakan social yang cenderung politis. Karena ia adalah gerakan social, maka wacana teologis dan filosofis ini akhirnya diterima masyarakat awam sebagai paham persamaan agama-agama. Tokoh-tokoh masyarakat, artis, aktifis LSM, tokoh-tokoh politik kini tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa semua agama adalah sama, tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. 

Penulis :Hamid Fahmy Zarkasyi

0


a.       Masyarakat Tradisional
Ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Karena itu, masyarakat semacam ini masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia dengan demkian tunduk kepada alam, belum bisa menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat terbatas. Masyarakatini cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi. Tidak ada investasi. Pola dan tingkat kehidupan generasi kedua pada umumnya hamper sama dengan kehidupan generasi sebelumnya.

b.      Prakondisi untuk Lepas Landas
Masyarakat tradisional, meskipun sangat lambat, terus bergerak. Pada suatu titik,dia mencapai posisi prakondisi untuk lepas landas. Biasanya, keadaan ini terjadi karrena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak dating karena factor-faktor internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar ini menggoncangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan.

Ide-ide yang berkembang ini bukan sekedar pendapat yang menyatakan bahwa kemjuan ekonomi dapat dicapai, tetapi bahwa kemajuan ekonomi merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain yang dianggap baik: kebesaran bangsa, keuntungan pribadi, kemakmuran umum, atau kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka nantinya.1

Misalnya, seperti yang terjadi di jepang, dengan dibukanya masyarakat ini oleh armada angkatan laut Amerika Serikat.Pada periode ini, usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat terjadi. Tabungan ini kemudian dipakai untuk melakukan investasi pada sector-sektor produktif yang menguntungkan, termasuk misalnya pendidikan. Investasi ini dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh negara. Sebuah negara nasional yang sentalistis juga terbentuk. Pendeknya, segala usaha untuk meningkatkan produksi mulai bergerak dalam periode ini.2

c.       Lepas Landas
Periode ini ditandai denga tersingkirnya hambatan-hambatan yang mengalami proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan merupakan sesuatu yang berjalan wajar, tanpa adanya hambatan yang berarti seperti ketika pada periode prakondisi untuk lepas landas. Pada periode ini, tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional atau lebih. Juga, industry-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat. Keuntungannya sebagian besar ditanamkan kembali ke pabrik yang baru. Sector modern dari perekonomian dengan dmikian jadi berkembang.
Dalam pertanian, teknik-teknik baru juga tumbuh. Pertanian menjadi usaha komersial ntuk mencari keuntungan dan bukan sekedar untuk konsumsi. Peningkatan dalam produktivitas pertanian merupakan sesuatu yang penting dalam proses lepas landas, karena proses modernisasi masyarakat membutuhkan hasil pertanian yang banyak, supaya ongkos perubahanini tidak terlalu mahal.

d.      Bergerak ke Kedewasan
Setelah lepas landas,akan terjadi proses kemajuan yang terus bergerak ke depan, meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut antara 10% sampai 20% dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kebali, supaya bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk.
Industry berkembang dengan pesat. Negara ini memantapkan posisinya dalam perekonomian global: barang-barang yang tadinya diimpor sekarang diproduksikan di dalam negeri; impor baru menjadi kebutuhan, sementaraekspor barang-barang baru mengimbangi impor.
Sesudah 60 tahun sejak sebuah negara lepas landas ( atau 40 tahun setelah periode lepas landas berakhir),tingkat kedewasaan biasanya tercapai. Perkembangan industry terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi, tetapi juga dalam aneka barangyang diproduksi. Yang diproduksikan bukan saja terbatas pada barang konsumsi, tetapi juga barang modal.

e.       Jaman Konsumsi Masal yang Tinggi
Karena kenaikan pendapatan masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi indusstri juga berubah, dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama.
Pada periode ini, investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses polittik yang terjadi dialokasikan untk kesejahteraan social dan penambahan dana social. Pada titik ini, pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus.seperti halnya teori-teori modernisasilainnya, didasarkan pada dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Titik terpenting dalam gerak kemajuan dari masyarakat yang satu ke yang lainya adalah periode lepas landas.
Rostow juga  berbicara tentang keperluan akan adanya sekelompok wiraswastawan, yakni orang-orang yang berani melakukan tindakan pembaruan, meskipun tindakan tersebut ada resikonya. Dia kemudian berbicara te.ntang kondisi-kondisi social yang melahirkan para wiraswatawan ini. Rostow.3 menyebutkan dua kondisi social :
 1. adanya elite baru dalam masyarakat yang merasa diingkari haknya oleh masyarakat    tradisional dimana dia hidup, untuk mendapatkan prestise dan mencapai kekuasaan melalui caara konvensional yang ada,
2. masyarakat tradisional yang ada cukup fleksibel (atau lemah) untuk memperbolehkan warganya untuk mencari kekayaan (atau kekuasaan politik) sebagai jalan untul menaikan statusnya dalam masyarakat (biasanya hak ini dicapai melalui kepatuhan dan kesetiaan terhadap yang berkuasa.
Kelompok elite baru inilah yang akan menjadi tenaga pendorong untuk melakukan pembaruan. Elite baru ini merupakan kelompok orang yang frustasi (dalam arti positif) Karena tatanan social dan politik yang ada tidak member kemungknan untuk mengembangkan diri. Ini misalnya terjadi pada kelompok pedagang (cikal bakal dari kaum burjuasi di jaman modern) di jaman feudal, atau orang-orang Yahudi di Eropa, atau orang-orang cina di Asia Tenggara. Karena tidak bisa memajukan diri  di ajalur sosila-politik, mereka bergerak di bidang ekonomi dan kemudian mendapatkan tempat terhormat, karena keberhasilannya mengumpulkan kekayaan.
 Dalam membahas masalah lepas landas pun, Rostow berbicara tentang aspek-aspek nonekonomi ini. Baginya, lepas landasharus memenuhi semua dari ketiga kondisi.4 yang saling berkaitan yakni:
1.      Meningkatnya investasi di sector produktif dari ( katakanlah) 5% (atau kurang) atau lebih) dari pendapatan nasional.
2.      Tumbuhnya satu atau lebih sector industry manufaktur yang  penting, dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi.
3.      Adanya atau munculnya secara cepat lembaga-lembaga politik dan social yang bisa memanfaatkan berbagai dorongan gerak ekspansi dari sector ekonomi modern dan akibat yang mungkin terjadi dengan adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar sebaggai hasil dari lepas landas; disamping itu lembaga-lembaga ini kemudian bisa membuat pertumbuhan menjadi sebuah proses yang berkesinambungan.
Kondisi ketiga merupakan kondisi non-ekonomi yang penting. Tetepai, Rostow memang masih mengutamakan peran ekonomi dari lembaga-lembaga tersebut. Katanya :5 
Kondisi ketiga menunjuk kepada kesanggupan yang cukup (dari lembaga-lembaga itu) untuk mengumpulkan modal dari sumber-sumber dalam negeri… prakondisi untuk lepas landas memerlukan ksanggupan awal untuk menggeakan tabungan dalam negeri secara produktif, dan juga menciptakan sebuah struktur yang memungkinkan tingkat tabungan  yang cukup tinggi.

Yang dimaksud oleh Rostow misalnya adalah negara yang melindungi kepentingan para wiraswastawan untuk melakukan akumulai modal. Atau memberikan iklim politik yang menguntungkan bagi para industriawan, atau orang asing untuk menanamkan modalnya. Memang, fungsi dari lembaga-lembaga non-ekonomi ini adalah untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Tetapi, sebagai seorang ahli ekonomi, dengan menyebutkan lembaga-lembaga non-ekonomi ini Rostow telah membuat langkah yang sangat berarti.
Dari uraian diatas kita juga melihat bahwa pada dasarnya Rostow masih melihat masalahpembangunan sebagai masalah yang sepertidiuraikan oleh model Harrod-Domar : tingkatkan tabungan dan investasi produktif stinggi mungkin. Lembaga-lembaga non-ekonomi seperti lembaga-lembaga politik dan social juga harus digerakan untuk mencapai tujua ini. Kalo ini bisa dilakukan, tahap lepas landas, dan kemudian tahap konsumsi masal yang tinggi, akan segera dicapai. Etapi, lankah pertama dari selruh proses yang panjang ini dimulai dengan menghilangkan hambatan pada masyarakat tradisonal, supaya masyarakat tersebut dapat memerdekakandiri dari nilai-nilai tradisinya, danmulai bergerak maju. Ini jelas factor non-ekonomi.

Sumber   :
Budiman, Arief. 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama     
                                                                                                                                                          



1. Rostow, 1966:6
2. Di sini kita lihat pengah Teori Harrod-Domar. Pada masyarakat Tradisional belum ada proses investasi. Produksi adalah untuk konsumsi. Pada masyarakat yang berstatus prakondisi untuk lepas landas mulai terjadi tabungan masyarakat untuk investasi. Deikian seterusnya.
3.Rostow, 1971:156
4.Rostow, 1971: 147, 148.
5. Rostow, 1971:148

3

Manusia hidup di dunia memang telah mempunyai kodrat yang telah ditentukan, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menjalani kehidupan. Di antara kebutuhan-kebutuhan manusia yaitu naluri, akal, dan kebutuhan jasmani. Dan naluri itu masih terbagi lagi dalam suatu sub yaitu naluri sex, naluri mempertahankan diri, dan naluri beragama. salah satu dari naluri yang dimiliki manusia itu sendiri adalah naluri akan sifat sexualitas yang mendorong timbulnya suatu perasaan yang menimbulkan hawa nafsu. Namun hawa nafsu ini seringkali lepas kendali yang menyebabkan timbulnya sebuah perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat seperti Pornografi, pornoaksi dan pelecehan seksual bahkan pemerkosaan.Pornografi/ pornoaksi itu sendiri merupakan suatu sikap yang timbul akibat dari adanya dorongan naluri sexual seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dimana seseorang tidak dapat menahan naluri sexualnya sehingga untuk memenuhi naluri sexualnya mereka melakukan kegiatan yang menyimpang dari nilai dan norma seperti ditampilkan bagian tubuh yang privat dari seseorang untuk dilihat atau di konsumsi khalayak luas atau bahkan melakukan suatu hubungan intim sebelum menikah.
Pornografi ini menimbulkan adanya pendeskriditan terhadap wanita karena Sebagian besar asumsi masyarakat yang menilai bahwa yang di maksudkan dalam objek pornografi adalah wanita, asumsi ini di buktikan dan dipertegas dengan adanya aksi nyata dengan adanya tayangan-tayangan yang menggunakan wanita sebagai objeknya contohnya iklan sabun dan iklan-iklan seperti yang ada di media cetak dengan menggunakan foto-foto wanita seksi untuk menarik minat masyarakat untuk produk tertentu, Dalam hal ini wanita dijadikan sebagai komoditas.
Kemajuan teknologipun sangat mempengaruhi dan mempertegas hadirnya asumsi masyarkat yang menyatakan bahwa pornografi itu identik dengan wanita. Hal ini dengan memanfaatkan media seperti internet dan yang lain sebagainya yang memblow up untuk meyakinkan masyarakat bahwa yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi itu adalah sebuah perilaku yang dilakukan oleh wanita yang kurang baik dengan memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang privat untuk di konsumsi secara umum oleh masyarakat luas, misalnya dengan contoh maraknya foto-foto wanita yang mengenakan pakai minim bahkan tidak menenakan pakaian sama sekali yang ditampilkan di situs-situs dan blog, kita jarang sekali menemukan adanya situs yang memperlihatkan adegan syur yang ditampilkan berupa laki-laki tanpa busana. Inilah salah satu strategi yang dimanfaatkan kaum kapitalis untuk mempengaruhi masyarakat untuk mengkonsumsi hal-hal yang bersifat pornografi untuk menarik konsumen. Karena dari pornografi ini bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar, yang mengorbankan harga diri seorang wanita.



Pandangan masyarakat yang menilai bahwa pornografi itu memojokan wanita memang merupakan opini global karena hal ini diperbesar oleh media-media yang ada khususnya media masa yang menampilkan wanita-wanita sexy yang di pasang sebagai iklan yang menjual keindahan-keindahan tubuh wanita tersebut dan mengapa wanita yang dijadikan sebagai objek ? Mungkin hal ini dikarenakan wanita mempunyai bentuk tubuh yang mempunyai daya tarik naluri sexual pria secara tidak langsung sebab wanita mempunyyai batasan-batasan aurat yang sangat rapat di bandingkan dengan pria yang mempunyai daya pikat hanya dari bentuk badannya yang besar dan dapat dilihat secara kasat mata,
Arus utama (paradigma) berpikir masyarakat saat ini memang sangat terpengaruh oleh Kapitalisme; paham yang menganggap bahwa kehidupan tidak perlu diatur oleh agama, namun cukup ditentukan oleh asas manfaat. Faktanya, apa yang dianggap bermanfaat ini ditentukan secara sangat egoistik dan berwawasan pendek oleh para pelaku yang kebetulan mendominasi arena.Dalam Kapitalisme, apa saja yang bisa dijadikan komoditas/barang dagangan akan diperlakukan sebagai komoditas/barang dagangan. Andaikata air ludah itu bisa dijual, tentu akan ada bisnis di sana.
Wanita sudah dianggap sebagai "barang dagangan" sejak lama, bahkan eksploitasi wanita dalam berbagai bentuknya (dari pamer aurat hingga pelacuran) sering disebut sebagai bisnis "tertua" di dunia. Sebutan ini dijadikan alasan seakan-akan mustahil memberantas pornografi dan pornoaksi, karena hal itu sudah menyatu dengan sejarah manusia.Bahkan sejumlah teori ilmiah dicoba dibuat oleh para psikolog Barat. Sigmund Freud, misalnya, mengatakan bahwa aktivitas seks (tanpa peduli segi halal-haramnya) adalah sumber energi, yang tanpa itu manusia tidak bisa hidup normal.
Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan berekspresi dan berperilaku. Dalam demokrasi yang diyakini Barat, seseorang seharusnya bebas berekspresi dan berperilaku apa saja. Batasnya hanyalah kebebasan orang lain. Kalau tidak mengganggu orang lain, mengapa harus dibatasi? Kalau ada yang keberatan dengan tayangan (porno) di TV, ya tid ak usah nonton, pindah saluran saja, atau matikan saja TV-nya. Begitu kilah mereka.
Pandangan-pandangan di atas bertemu dengan alasan ekonomi. Realitasnya, sebagian wanita "memilih" bidang "bisnis" ini karena tekanan atau tarikan ekonomi. Ketika pendidikan mahal dan lapangan kerja susah, maka eksploitasi aurat dan seks adalah jalan pintas untuk meraih uang dan materi. Aksi anti pornografi dan pornoaksi pun sering ditolak dengan alasan ekonomi, "Kalau mereka dilarang, terus siapa yang kasih makan?"
Memang, ditemukan sejumlah pemain dangdut pengumbar aurat atau pelacur pengobral syahwat yang melakukan pekerjaannya ini demi sekolah adik atau anaknya, atau demi orangtuanya yang renta, setelah suaminya tiada atau tidak berdaya; sementara penguasa yang semestinya melindungi mereka, juga tidak melakukan apa-apa.
Sepintas memang aktivitas pornografi/pornoaksi itu tidak merugikan yang tidak berkepentingan. Mereka yang bertransaksi juga melakukannya suka sama suka. Namun, ada yang dilupakan: masa depan!
Di Barat, pornografi/pornoaksi baru menjadi sangat liberal sejak ditemukan alat pencegah kehamilan pada akhir tahun 60-an. Sejak itulah orang bisa memisahkan antara tanggung jawab kehamilan dengan kenikmatan seksual. Sejak itu pula "bisnis" ini menjadi fenomena global. Namun, kini dampaknya mulai terasakan. Anak-anak, remaja, dan pemuda yang lahir di Barat pada era 70-an ke atas memiliki semangat juang atau motivasi yang lebih rendah daripada orangtua atau moyang mereka. Ada kecenderungan mereka menghindari persoalan-persoalan yang lebih rumit, semacam sains dan teknologi. Mereka juga tidak lagi begitu peduli pada persoalan politik. Dunia mereka kini adalah 3F—football, fashion, & fun—(permainan, penampilan, dan bersenang-senang).1

Pandangan ‘Hina’ Terhadap Perempuan
Dalam sejarah memang sudah terdapat pandangan-pandangan yang merendahkan wanita hal ini dapat dilihat dari doktrin-doktrin yang diterapkan pada masa lalu.
Perempuan menurut doktrin berbagai peradaban—sejak dari awalnya memang dipandang tidak lebih sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjualbelikan secara murahan. Sebagai contoh, dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan Prof. Will Durant: Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya—pada masa-masa tersebut—menjadi miliknya pribadi….Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.
Bahkan para filosof Yunani sendiri pun menyamakan perempuan dengan para budak yang hina dan ‘patut’ ditindas. Aristoteles mengatakan:
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah....Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan....
Orang-orang Yunani juga memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dari masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelom­pok elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain.
Pandangan yang lebih menghinakan lagi dapat kita dapati dalam peradaban Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan peribadatan menyatakan: Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan.
Pandangan yang tak jauh berbeda juga dilontarkan oleh peradaban Hindu. Sebuah buku yang berisi aturan-aturan keagamaan Sansekerta kuno, Draramasastra, memuat satu bab tentang “kedudukan klan kewajiban agama kaum perempuan” atau stridharmapaddhati. Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini, Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di bagian selatan negara bagian Tamil Nadu, India. Aturan tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara umum menempatkan kaum perempuan pada golongan warga negara kelas dua. Sebagai contoh, seorang istri tidak mempunyai hak atas harta kekayaan suaminya. Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan istri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh dikeluarkan oleh istri, tetapi harus seizin suaminya. Ada tiga pesan yang dapat diambil dari buku Pandit Tryambaka ini. Pertama: seorang istri tidak perlu memperhatikan kehidupan pribadinya. Kedua: seorang istri bahkan harus rela untuk dijual apabila suaminya menghendaki. Ketiga: kepatuhan kepada suaminya harus diutamakan ketimbang kewajiban-kewajiban lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama sekalipun.
Salah satu fakta yang menunjukkan bagaimana di mata Barat perempuan sangat dilecehkan adalah kasus aborsi dan Fakta lainnya yang kita bahas dalam tulisan ini adalah terhadap perempuan ialah industri pornografi. Pesatnya pertumbuhan industri pornografi sejak tahun 1950-an, sekali lagi, dipandang mencerminkan kemajuan “kesetaraan jender” di Barat. Dunia pornografi sama sekali tidak mem­pertimbangkan kaum perempuan sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan, namun hanya sekadar sebagai komoditas yang layak dimanfaatkan dan segera disingkirkan apabila tak lagi dapat dijual. Kaum perempuan diyakinkan bahwa dengan menjual tubuh, mereka akan mampu meraih “keseta­raan”. Padahal kenyataannya, kaum perempuan hanya menjadi obyek kaum laki-laki yang memanfaatkan kedok “kesetaraan” untuk dapat mengeksploitasi kaum perempuan semata-mata demi kepentingan hawa nafsu mereka dan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pada tahun 1980-an, sebuah “langkah maju” dalam hal manipulasi perempuan kembali terjadi. Sheila Jeffreys, seorang feminis, menulis:
Kaum perempuan telah diberitahu oleh para pengusung ide kebebasan, bahwa karena sekarang kaum perempuan telah “setara” dengan kaum laki-laki, maka tidak ada salahnya kaum perempuan ikut menikmati pornografi. Ideologi ini justru telah menggagalkan gerakan emansipasi perempuan, bukan mendukungnya. Gagasan untuk menjual produk-produk pornografi kepada kaum perempuan sejak tahun 1980-an telah menjadi sebuah strategi yang canggih dan efektif dalam memperkuat kekuasaan kaum laki-laki. 2



Permasalahan yang memandang wanita rendah memang sudah menjadi doktrin peradaban masa silam yang menanggap perempuan hanyalah sebagai komoditi dan alat pemuas nafsu belaka yang telah mempengaruhi proses berpikir masyarakat sekarang ini. Olehkarena itu, ada yang menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah....Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan....
Banyak kasus yang menganggap rendah wanita seperti aborsi dan pornografi. Dalam kasus pornograf ini, pengaruh Media mempunyai peran yang cukup penting dalam pendeskreditan terhadap wanita karena salah satu bentuk yang efektif untuk mempengaruhi daya dasar pemikran seseorang adalah lewat media. Media ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak karena membina hubungan dengan media merupakan bagian dari fungsi public relation yang tujuannya untuk mempublikasikan sekaligus memperlancar komunikasi sebuah institusi dengan publik. Dalam hal ini media massa ( baik cetak, elektronik maupun internet) memiliki kekuatan membentuk opini yang sangat efektif. media juga memegang peran dalam pemberitaan yang berefek serempak dan dramatis.3 Hal ini salah satu akibat dari sebuah sistem Kapitalis yang menjadikan wanita sebagai barang dagangan.
Untuk itu,untuk memperbaiki citra para wanita kita harus memandang wanita sebagai sosok yang diberi kehormatan dan tugas yang mulia yakni sebagai “ sekolah“ pertama bagi generasi baru dan mitra bagi suaminya, bukan sebagai komoditas ataupun lawan bagi para lelaki sebagai Hasrat seksual ataupun pamer aurat. kita harus bsa mengembalikan nilai-nilai yang mulia terhadap wanita, karena kita berada di dunia ini berasal dari seorang ibu yang beliau adalah wanita, jika tidak ada wanita mungkin kita tidak akan dapat hidup bahkan lahir di dunia ini untuk merasakan nikmatnya dunia. Untuk itu kita harus membela para kaum wania yang selama ini telah teralienasi dengan kata-kata pornografi yang selalu menunjukkan bahwa pornografi itu adalah wanita. Mulai dari sekarang marilah kita mulai hapus pandangan itu dan jangan menganggap remeh bahkan rendah wanita. Karena pada hekekatnya laki-laki dan wanita tidak berbeda karena mempunyai anggota tubuh yang sempurna dan akal yang membedakan dengan makhluk hidup yang lainnya.

0

CSR ITU MEMBANGUN PRODUKTIFITAS BUKAN MENJADI BEBAN
Disampaikan pada seminar Nasional Nasional : Efektifitas Program CSR Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Oleh : Gilang Mahesa – Community Development Departement Head

Sebuah Pengantar
Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya.

Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentral dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses.
Untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat agar lebih berdaya, berpartisipasi aktif, serta penuh dengan kreativitas, pemerintah melontarkan komitmen yang berlevel internasional. Komitmen ini telah ditandatangani dalam KTT Millenium PBB pada tahun 2002 bersama 189 negara lainnya. Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.
Dalam deklarasinya negara peserta menerapkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8 (delapan) tujuan (goal) yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau memberantas kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000).
Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015.
Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP (2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110 (UNDP, 2007).
Oleh karena itu sebagai bagian dari proses peran serta dalam melakukan pemberdayaan masyarakat untuk menaikkan nilai IPM Indonesia, Pemerintah Indonesia menetapkan dalam UU Perseroan Terbatas porsi peran aktif masyarakat pelaku ekonomi dengan sebuah kegiatan yg sering kita sebut CSR ( Corporate Social Responsibility )

BAGAIMANA PERUSAHAAN MEMANDANG CSR

Isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang sering disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) dewasa ini menjadi topik yang banyak dibicarakan terlebih dengan dicantumkannya CSR dalam UU Perseroan Terbatas.

Organisasi bisnis berlomba-lomba mengadakan berbagai program sosial berupa bakti sosial, pemberian bea siswa, melakukan penghijauan dan lain sebagainya yang kemudian digaungkan sebagai program CSR. Masyarakat mulai memaknai program-program semacam itu sebagai CSR bahkan pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh organisasi bisnis yang bergerak dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA pada akhirnya dikatakan sebagai CSR.

Pemaknaan CSR sebagaimana diterima dan dipraktekkan selama ini sebenarnya merupakan penyempitan dari makna yang sebenarnya. Setiap organisasi semestinya berasumsi bahwa tanggung jawab sosialnya adalah kepada semua pihak yang berhubungan dengannya baik karyawan, pelanggan, lingkungan dan lainnya (stakeholders). Pemaknaan kata sosial hanya sebatas pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya bak mengebiri dan mengurangi filosofi dasar dari CSR itu sendiri.

Andaikata sebuah organisasi yang bergerak dalam industry makanan memberikan bantuan air bersih bagi masyarakat bisa mempromosikan diri telah melaksanakan CSR sementara di lain sisi organisasi tersebut memproduksi makanan dengan bahan pewarna yang berlebihan. Tentunya CSR tidak lebih dari sekedar program amal (charity) yang dipublikasi bila dimaknai demikian.

Perlu dibedakan bahwa kontribusi atau kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar tidak seketika layak di-klaim sebagai CSR. Adalah sebuah kewajaran dan kewajiban bagi organisasi yang memanfaatkan SDA untuk menjaga kelestariannya, adalah kewajaran pula apabila organisasi bisnis memberikan sumbangan atau bantuan kepada masyarakat karena dirinya berada dalam komunitas itu sendiri. Tidak salah mengatur kewajiban organisasi bisnis untuk menjaga kelestarian alam setelah memanfaatkannya dalam program usaha, namun kurang tepat apabila tindakan tersebut dikategorikan sebagai CSR. Tanggung jawab organisasi terhadap komunitas sesungguhnya jauh lebih besar daripada apa yang selama ini dipraktekkan dengan melakukan program-program amal. Bukankah organisasi bisnis semestinya turut menjaga moralitas masyarakat dengan tidak beriklan pada program televisi yang merusak moral dan mental bangsa. Harus diakui bahwa organisasi bisnis memiliki andil berperan menggerogoti moral dengan mendukung program yang tidak layak tayang. Penyempitan makna CSR adalah satu masalah, masalah lain adalah pelaksanaan yang sering kali tidak sesuai dengan kompetensi organisasi.

Organisasi sendiri dimanapun selalu dilandaskan pada tujuan tertentu yang telah ditetapkan (spesialisasi). Inilah yang mengikat organisasi sehingga ketika organisasi berjalan tanpa tujuan dan individu yang ada di dalamnya bekerja sendiri-sendiri tanpa ada tujuan yang sama dan terfokus maka yang ada hanyalah kelompok individu bukan organisasi (bedakan antara keduanya). Kegiatan dalam mencapai tujuan tersebut pada akhirnya akan melahirkan kompetensi dari organisasi pada bidangnya ini yang menjadi pembeda antar organisasi.

Terkait dengan tujuan dan kompetensi yang dimiliki organisasi, program CSR hendaknya juga dilakukan sesuai dengan tujuan dan kompetensi yang dimiliki oleh organisasi. Sebagaimana dikatakan oleh Drucker: “Maksud baik belum tentu bertanggung jawab secara sosial. Bagi organisasi adalah suatu tindakan tidak bertanggung jawab jika menerima tanggung jawab yang tidak sesuai kompetensinya”, karenanya penting bagi organisasi untuk memilih program CSR yang sesuai dengan kompetensinya (sesuai bidangnya). Contoh yang terjadi selama ini organisasi bisnis yang bergerak dalam industri rokok melakukan program pemberian bantuan pembangunan sekolah, di tempat lain organisasi yang bergerak dalam industri perakitan melakukan program penanaman sejuta pohon dan keduanya berkampanye bahwa program tersebut adalah perwujudan CSR. Padahal program tersebut lebih tepat dikatakan sebagai charity dan tidak sesuai dengan kompetensinya. Akan lebih tepat seandainya sebuah organisasi dalam industri mobil memberikan pelatihan bagi siswa STM mengenai mesin, sementara yang bergerak dalam industri garmen memberikan pelatihan menjahit. Tentunya program semacam ini lebih bertanggung jawab daripada melakukan program yang tidak sejalan dengan kompetensi yang dimilikinya. Analoginya sungguh tidak bertanggung jawab apabila seorang mekanik menjalankan tugas seorang dokter dengan alasan peduli sesama demikian pula sebaliknya.
Program CSR yang tidak sesuai kompetensi organisasi bisa saja disiasati dengan alih daya pada pihak ketiga namun hal ini sekali lagi tak lebih dari sekedar sumbangan berupa dana bukan tanggung jawab sosial yang dikategorikan sebagai CSR.

Dengan demikian secara garis besar cara pandang sebuah perusahaan terhadap CSR dapat dilihat dalam 3 kategori :

1. Sebagai Beban
2. Sebagai Charity Publisitas
3. Sebagai Investasi

BAGAIMANA DENGAN RUMAH ZAKAT ?

Rumah Zakat Indonesia sebagai salah satu NGO Nasional yang ter-akreditasi sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional selama ini mendapatkan kepercayaan dari beberapa perusahaan baik internasional, nasional maupun regional untuk menyalurkan dana – dana yang diakui oleh perusahaan tersebut sebagai dana CSR.

Dalam memandang CSR, Rumah Zakat Indonesia berpedoman kepada 6 hal dasar yaitu :

1. Amanah
2. Profesional
3. Kemudahan
4. Sinergis
5. Ketepatan Penyaluran, dan
6. Kejelasan Laporan

Dengan semangat 6 hal tersebut, RZI memandang CSR sebagai salah satu solusi untuk sebuah pemberdayaan masyarakat. Oleh karena Rumah Zakat Indonesia menawarkan sebuah konsep Pemberdayaan Komunitas untuk memaksimalkan pengelolaan dana CSR.

Mengapa Pemberdayaan Komunitas ? Dengan Pemberdayaan Berbasis Komunitas, sekurangnya ada 5 hal yang akan mengarahkan pengelolaan dana CSR sesuai dengan niatan keberdayaan, yaitu :

1. Tepat Sasaran, penerima manfaat berada dalam sebuah wilayah binaan / komunitas yang jelas ( tidak fiktif ), terukur dengan ukuran yg tepat, dapat di check secara on the spot atau online dan yang terpenting dapat dilakukan kegiatan pendampingan. Selain itu program yg kita gulirkan benar – benar program yg dibutuhkan oleh masyarakat penerima manfaat.
2. Pendampingan, dengan terkumpulnya penerima manfaat secara wilayah binaan atau komunitas, maka setiap penerima manfaat akan dapat di supervise, dilakukan monitoring, controlling, advokasi dan conselling sehingga rekan jejak keberdayaan dari setiap penerima manfaat dapat diukur dan dilihat setiap waktunya.
3. Memiliki Paremeter Ukur, inilah yg membedakan antara program charity dengan produktif. Pemberdayaan Berbasis Komunitas mempunyai parameter ukuran dan target KPI ( key performance indicator ) yang dapat dinilai secara terbuka dan tranparan. Dengan parameter ukur itulah dapat dilihat impact yg dihasilkan dari sebuah program CSR.
4. Membangun Keberdayaan, dengan parameter ukur, kita dapat menentukan titik balik sebuah keberdayaan. Bagi kami di RZI titik metamorfosisnya itu adalah Transformasi Mustahiq menjadi Muzzaki dengan ukuran nisab zakat. Di RZI kami membangun apa yang dinamakan sebagai evolusi kemiskinan yaitu sebuah evolusi dari miskin menjadi produktif, berdaya dan sejahtera.
5. Kejelasan Laporan, dengan tepatnya sasaran penerima manfaat, adanya pendampingan, parameter ukur dan keberdayaan maka laporan yg dibuat akan sangat jelas memenuhi standar laporan CSR yg di gariskan oleh GRI ( Global Reporting International ). Hal ini secara langsung ataupun tidak langsung akan menguntungkan RZI sebagai pelaksana program dan Perusahaan sebagai pemilik dana CSR dalam proses pencitraan lembaga.

SKEMA PEMBERDAYAAN DI RZI

1. Clustering Penerima Manfaat

2. Alur Intervensi

3. Jenis Intervensi

4. Skema Wilayah Binaan

5. Skema Pendampingan

6. Goals

PENUTUP
Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004).
Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian.

Bagi kami di Rumah Zakat Indonesia, pemberdayaan adalah sebuah gerakan social bagi pembangunan peradaban yang jauh lebih baik. Kami tidak dapat menjadikan seluruh dunia menjadi lebih baik, tapi kami dapat membuat seluruh dunia melihat bahwa kami melakukan sebuah kebaikan untuk membangun peradaban menjadi lebih baik dengan sebuah pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas. Insya Allah

Gilang Mahesa
Comdev Departement Head
Rumah Zakat Indonesia

1. Satrio. A Wicaksono – dari berbagai sumber tulisan
2. Rangkuman dari berbagai sumber tulisan
3. Bussines Plann Comdev Departement RZI 2008

0

Links

Followers